Pekan lalu, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Dengan putusan tersebut, dapat dikatakan bahwa UN yang selama ini dilakukan adalah cacat hukum, dan selanjutnya UN dilarang untuk diselenggarakan. Keluarnya putusan MA itu telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, namun bila melihat hal ini sikap yang setuju dengan penghapusan UN lebih banyak ketimbang yang kontra. Meskipun MA menolak permohonan kasasi tersebut, pemerintah dalam hal ini Mendiknas, menyatakan tetap akan menggelar UN pada 2010. Pasalnya, sejauh ini Departemen Pendidikan Nasional belum menerima putusan MA yang meminta pemerintah harus menghentikan UN. Di samping itu, pada putusan kasasi yang dikeluarkan MA terkait dengan putusan PN Jakarta Pusat tertanggal 3 Mei 2007, tidak ada satu kata pun dari enam poin yang menyatakan tentang pelarangan pemerintah melakukan UN. Dengan ditolaknya kasasi terkait UN ini, telah menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Sikap pro dan kontra ini tidak hanya datang dari perorangan, namun juga dari DPR. Mereka yang setuju (pro) dengan penghapusan UN ini beralasan bahwa UN mempunyai banyak kelemahan, karena hanya mengukur tingkat kecerdasaan otak, tanpa melihat prestasi-prestasi dan pengalaman yang pernah diraih. If you find yourself confused by what you've read to this point, don't despair. Everything should be crystal clear by the time you finish.
Selain itu, ujian nasional membuat siswa kesulitan menghadapi ujian dan membuat yang tak lulus menjadi tertekan. Sedangkan bagi yang tidak setuju (kontra), beralasan karena UN merupakan sebagai penentu kelulusan siswa selain penilaian dari guru dan sekolah, serta untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pelaksanaan UN selama ini memang telah menimbulkan semacam fobia bagi siswa. Karena, mereka yang mempunyai nilai di atas rata-rata ternyata bisa tidak lulus UN. Oleh karena itu, untuk menghilangkan fobia siswa di dalam menghadapi UN tidak ada salahnya dua sikap pro-kontra masyarakat digabungkan. Caranya adalah UN tetap dilaksanakan, namun untuk kelulusannya diserahkan pada guru dan sekolah. Jadi, pemerintah tidak perlu mengintervensi kelulusan siswa melalui UN. Sebagai pengganti UN yang digunakan sebagai standar kelulusan siswa, nilai rapor dari kelas satu hingga tiga bisa dijadikan pertimbangan. Nilai rapor tersebut merupakan cerminan prestasi siswa selama menempuh pendidikan. Memang UN mempunyai banyak kelemahan karena hanya mengukur tingkat kecerdasaan otak. Jika ingin melihat kemampuan siswa, bukan dilakukan dengan UN, tapi hendaknya melihat prestasi-prestasi dan pengalaman yang pernah diraih. Jika memang UN itu akan dilakukan dengan sistem seperti itu, hal ini tantangan bagi pihak sekolah/guru untuk memberikan evaluasi secara objektif berdasarkan kompetensinya. Hal ini bertujuan agar tidak ada kesan bahwa UN yang dilaksanakan di sekolah, asal meluluskan siswa.
Fathya MP
Jl Warung Buncit 145, Jakarta Selatan (-)
No comments:
Post a Comment